HABITAT DAN RELUNG

orang utan

Habitat, yaitu tempat dimana suatu makhluk hidup biasa diketemukan. Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup yang biasa disebut habitat. Untuk menemukan suatu organisme tertentu, perlu diketahui dulu tempat hidupnya (habitat), sehingga ke habitat itulah pergi mencari atau berjumpa dengan organisme tersebut. Semua organisme atau makhluk hidup mempunyai habitat atau tempat hidup. Contohnya, habitat paus dan ikan hiu adalah air laut, habitat ikan mujair adalah air tawar, habitat buaya muara adalah perairan payau, habitat monyet dan harimau adalah hutan, habitat pohon bakau adalah daerah pasang surut, habitat pohon butun dan kulapang adalah hutan pantai, habitat cemara gunung dan waru gununl; ndalah hutan Dataran tinggi, habitat manggis adalah hutan dataran rendah dan hutan rawa, habitat ramin adalah hutan gambut dan daerah dataran rendah lainnya, pohon-pohon anggota famili Dipterocarpaceae pada umumnya hidup di daerah dataran rendah, pohon aren habitatnya di tanah darat iInfaran rendah hingga daerah pegunungan, dan pohon durian luibitatnya di tartan darat dataran rendah.

Istilah habitat dapat juga dipakai untuk menunjukkan tempat tumbuh sekelompok organisme dari berbagai spesies yang membentuk suatu komunitas. Sebagai contoh untuk menyebut tempat hidup suatu padang rumput dapat menggunakan habitat padang rumput, untuk hutan mangrove dapat menggunakan isfilah habitat hutan mangrove, untuk hutan pantai dapat menggunakan habitat hutan pantai, untuk hutan rawa dapat menggunakan habitat hutan rawa, dan lain sebagainya. Dalam hal seperti ini, maka habitat sekelompok organisme mencakup organisme lain yang merupakan komponen lingkungan (komponen lingkungan biotik) dan komponen lingkungan abiotik.

Habitat suatu organisme itu pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Kisaran faktor-faktor ekologi bagi sefiap organisme memiliki lebar berbeda yang pada batas bawah disebut titik minimum, batas atas disebut titik maksimum, di antara titik minimum dan tifik maksimum disebut titik optimum. Ketiga titik tersebut dinamakan titik kardinal.




Setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Apabila ada gangguan yang menimpa pada habitat akan menyebabkan terjadi perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya Jadi, apabila kondisi habitat berubah hingga di titik minimum dan maksimum (di luar kisaran faktor-faktor ekologi) yang diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau pindah (migrasi) ke tempat lain. Jika perubahan yang terjadi dalam habitat berjalan lambat, misalnya berjalan selama beberapa generasi, maka organisme yang menghuninya pada umumnya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru meskipun luas batas-batas semula. Melalui proses adaptasi (penyesuaian diri) tersebut lama-lama terbentuklah ras-ras baru yang mempunyai sifat berbeda dengan sebelumnya.

Habitat organisme bisa lebih dari satu tempat. Misalnya burung pipit mempunyai habitat di sawah untuk aktivitas mencari makan, juga mempunyai habitat di atas pepohonan untuk bertelur. Habitat ikan salem ketika dewasa adalah di laut, waktu akan bertelur pindah habitatnya di sungai, bahkan sampai ke hulu sungai. Ikan salem bertelur di hulu sungai dan anak yang telah ditetaskan akan tinggal bertahun-tahun di sungai, kemudian ketika memasuki fase dewasa ikan salem itu pindah habitat lagi ke laut.

Contoh lainnya adalah ikan arwana mempunyai habitat di air tawar dan ada pula yang di air payau. Habitat katak ketika dewasa adalah di darat, sedangkan ketika fase telur dan berudu berada di air tawar. Pohon ramin (Gonystylus bancanus) mempunyai habitat di hutan gambut juga di hutan-hutan daratan dengan tanah berpasir, ketinggian tempat 2-100 m dari permukaan laut. Pohon Matoa (Pometia pinnata) mempunyai habitat di pinggir sungai, juga di daerah yang bertanah liat, tanah pasir atau lempung di hutan daratan dataran rendah hingga di hutan pegunungan (ketinggian tempat kurang dari 1.700 m dpl.). Pohon kempas (Koompassia malaccensis) mempunyai habitat di hutan rawa, juga di hutan daratan dengan tanah liat atau pasir yang ketinggian tempatnya adalah 0-600 m dpl.

Di dalam habitat, setiap makhluk hidup mempunyai cara tertentu untuk hidup. Misalnya, burung yang hidup di sawah ada yang makan serangga, ada yang makan buah padi, ada yang makan katak, ada juga yang makan ikan. Cara hidup organisme seperti itu disebut relung atau niche.

Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam ekosistem. Relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu. Relung suatu organisme ditentukan oleh tempat hidupnya (habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya, sehingga dikatakan sebagai profesi organisme dalam habitatnya. Profesi organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya. Berbagai organisme dapat hidup bersama dalam satu habitat. Akan tetapi, jika dua atau lebih organisme mempunyai relung yang sama dalam satu habitat, maka akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung dari organisme-organisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka makin intensif persaingannya.

HUTAN TANAMAN DAN EKOSISTEM UNGGUL

Pembangunan hutan tanaman sudah saatnya ditinjau kembali dalam upaya menciptakan hutan tanaman dengan ekosistem yang unggul. Ekosistem yang unggul merupakan ekosistem yang memiliki keseimbangan alami dan interaksi antara komponen ekosistem itu berjalan dengan baik walaupun ekosistem tersebut merupakan ekosistem buatan. Keseimbangan alami harus diupayakan tercipta pada hutan tanaman sehingga penurunan kualitas hutan tanaman maupun kualitas lingkungan dapat diatasi.

Membangun hutan tanaman dengan ekosistem yang mirip dengan hutan alam klimaks merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas hutan maupun kualitas lingkungan. Untuk menciptakan hutan tanaman dengan ekosistem unggul maka ada beberapa aspek yang coba untuk diperhatikan dalam pembangunan hutan tanaman. Aspek-aspek tersebut antara lain struktur hutan, keragaman jenis, pemilihan jenis dan kondisi atau keadaan lahan.


1. Struktur Hutan

Menurut Marsono (2000b), atribut struktur hutan yang terdiri dari komponen komposisi jenis, stratifikasi tajuk, stratifikasi perakaran, diversitas, sebaran spatial dan lain-lain saling menentukan dengan atribut fungsional hutan seperti produktivitas, siklus hara, siklus hidrologi, erosi dan lain-lain dalam suatu ekosistem hutan. Dengan mendasarkan pengertian tersebut maka bila diinginkan atribut fungsional hutan yang baik seperti produktivitas dan stabilitas hutan (pelestarian hutan), diperlukan atribut struktural yang baik. Selanjutnya menurut Marsono (2000b), yang dimaksudkan atribut struktural yang baik sudah barang tentu didasarkan pada atribut struktural hutan klimaks pada tipe hutan itu, yang akan berbeda dengan tipe hutan yang lain. Hutan klimaks mempunyai metabolisme komunitas dengan rasio Scrodinger mendekati 1 (satu) yang berarti respirasi tinggi dan akhirnya stabilitas tinggi. Karena itu atribut struktural dari hutan klimaks seyogyanya diikuti. Jika tidak diikuti, maka stabilitas sistem menjadi rendah, dan bila diinginkan atribut fungsional yang baik harus dibayar mahal dengan memberikan input energi/biaya yang mahal pada sistem.

Belajar dari pengalaman selama ini bahwa pembangunan hutan tanaman dengan sistem monokultur kurang menguntungkan dari segi ekosistem. Menurut Sulthoni (1986), pada Hutan Tanaman Industri komposisi tegakan hutannya terdiri dari jumlah jenis yang terbatas bahkan seringkali monokultur, dalam keadaan yang demikian ekologinya cenderung untuk memacu peningkatan populasi hama penyakit seperti halnya yang terjadi pada ekosistem pertanian. Selain itu menurut Soedjito (1986), hutan tanaman monokultur kurang dapat memanfaatkan total energi matahari yang jatuh karena lapisan tajuknya hanya satu, selain itu juga tidak terjadi stratifikasi perakaran yang dapat menyebabkan kebocoran hara.

Pengalaman-pengalaman yang ada memberikan pelajaran bagi kita bahwa pembangunan hutan tanaman juga merupakan pembangunan ekosistem. Untuk menciptakan hutan tanaman dengan ekosistem unggul maka kondisi hutan klimaks harus menjadi pertimbangan dalam pembangunan hutan.. Menurut Gordon dan Forman (1983), pembuatan hutan tanaman bisa dirancang dengan cakupan ekologi lansekap, yaitu adanya perhatian pada interaksi di dalam dan di antar ekosistem.

Struktur hutan tanaman yang hendak dibangun harus dengan komposisi jenis yang bukan hanya terdiri dari satu jenis, tetapi harus ada beberapa jenis dan harus tercipta stratifikasi baik stratifikasi tajuk maupun stratifikasi perakaran. Hal ini dimaksudkan agar erosi semakin diperkecil dan juga peluang untuk kebocoran hara semakin kecil, seperti halnya yang terlihat pada gambar.




Gambar. Hutan Tanaman yang memiliki lebih dari satu Strata

Pada gambar terlihat hutan tanaman dengan tanaman pokok Jati dan tanaman penyerta adalah Acacia serta adanya tumbuhan bawah sebagai penutup tanah. Pada hutan tanaman memberi peluang untuk berlangsungnya siklus hara secara baik disamping itu kemungkinan erosi semakin diperkecil karena srata yang lebih dari satu.

Konsep suksesi yang dipercepat (accelerated succession), nampaknya merupakan konsep yang harus digunakan dalam membangun hutan tanaman khususnya pada pembangunan hutan di lahan kritis. Pada konsep ini pembangunan hutan pada lahan kritis atau lahan yang produktivitas rendah diawali dengan penanaman jenis-jenis legum pionir. Jenis ini akan berfungsi untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah, selain itu jenis ini akan berfungsi sebagai penaung bagi tanaman pokok. Setelah tanaman pokok cukup umur maka legum pionir ini harus dijarangi agar tidak sampai menjadi klimaks karena akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Tumbuhan bawah pada mulanya harus mengalami perawatan yaitu dengan adanya penjarangan agar tumbuhan bawah ini tidak menjadi pengganggu bagi tanaman pokok, tetapi jika tanaman poko sudah cukup umur dan mampu bersaing dengan tumbuhan bawah, maka tumbuhan bawah ini dibiarkan saja untuk membentuk strata bawah dari hutan tanaman.


2. Keragaman Jenis.

Menurut Marsono (2000b), pada dasarnya adalah kewajiban untuk membentuk sistem yang tidak monokultur dan atau mempunyai bentang wilayah yang juga tidak homogen yang sesuai dengan ekosistem setempat. Unit hutan tanamn hendaknya terdiri atas beberapa jenis. Komposisi jenis ini bisa diatur berdasarkan hasilnya dengan memperhatikan fenomena perawakan, tipe arsitektur dan fenologinya.
Tanaman campuran ini, slain memperkecil resiko serangan hama penyakit, juga dapat mempertinggi hasil. Gordon dan Dawson (1979) dalam Soedjito (1986) membuktikan bahwa hutan campuranmemberikan hasil lebih besar daripada tegakan murni. Gadgil (1971) melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jenis Lupinus arboreus yang banyak kandungan Nitrogen pada daunnya ternyata memberikan dampak kenaikan hasil Pinus radiata bila ditanam secara bersamaan. Hal ini berarti adanya interaksi yang positif antara kedua tanaman.
Dalam kawasan yang cukup luas pembangunan hutan tanaman bisa dipadu antara beberapa unit yang tiap unitnya terdiri atas berbagai jenis. Penyebaran unit-unit ini bisa diatur berselang seling menurut medan dan kondisi lingkungannya. Seperti halnya konsep yang dibuat oleh Pickett dan Thomson (1978) dalam desain cagar alam maupun oleh Kumala (2004) dalam pembangunan konservasi Pseudo in-situ jenis target Dipterocarpaceae. Tujuan akhir dari desain ini adalah memperbanyak ekoton, agar heterogenitasnya meningkat. Hakekat dari usulan ini adalah membuat hutan tanaman sealami mungkin. Hutan campuran walaupun buatan kalau dikelola dengan baik akan seperti hutan alam yang masih dekat dengan ekosistem yang tak terganggu.


3. Pemilihan Jenis

Pemilihan jenis merupakan satu hal yang riskan dalam pembangunan hutan tanaman. Jenis-jenis asli mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dan memperkecil resiko serangan hama dan penyakit yang eksplosif. Beberapa jenis bahkan oleh masyarakat telah dibudidayakan secara tradisional sehingga pengembangan menjadi hutan tanaman Industri lebih mudah. Seperti yang dilaporkan oleh Soedjito dan kawan-kawan (1986), penduduk pulau Seram dengan terampil memelihara hutan damar (Agathis dammara) yang sebagian besar diantaranya adalah hasil budidaya begitu juga dengan jenis kenari babi (Canarium decumanum) juga telah dibudidayakan dalam skala pedesaan.

Pengalaman pembangunan hutan tanaman di Indonesia selama ini lebih mengandalkan jenis yang diintroduksi dari luar dibandingkan dengan jenis asli setempat, karena masalah produktivitas secara ekonomi. PT. Artika Optima Inti di pulau Seram bagian Barat tahun 1980-an hingga tahun 1990-an telah mencoba mengembangkan Hutan Tanaman Industri yang terdiri dari berbagai jenis, dan mengandalkan jenis asli setempat seperti Agathis (Agathis dammara), Meranti merah (Shorea selanicca), sengon atau salawaku (Albizia falcata), maupun angsana (Pterocarpus indicus). Tetapi ternyata walaupun kegiatan Hutan Tanaman Industri turut didukung oleh masyarakat sekitar karena adanya jenis-jenis setempat yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat namun hasilnya tidak dilirik oleh industri perkayuaan, bahkan hasil panen dibiarkan begitu saja. Dari segi ekosistem Hutan Tanaman Industri ini cukup baik karena bukan sistem monokultur ada beberapa jenis yang ditanam berselang-seling dan juga dengan umur yang berbeda-beda, keseimbangan alami cukup tercipta di sini, hal ini ditandai gangguan-gangguan yang sangat kurang bahkan hampir tidak ada.

Pemilihan jenis setempat dalam pembangunan hutan tanaman selain mengurangi resiko gangguan pada hutan, jenis setempat juga secara cepat mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat. Dengan demikian jenis setempat harus menjadi prioritas dalam pemilihan jenis untuk membangun hutan tanaman. Namun sampai saat ini domestikasi pohon untuk memperkenalkan jenis-jenis setempat kurang dilakukan sehingga jenis-jenis eksotik atau jenis yang diintroduksi yang lebih menjadi prioritas dalam pembangunan hutan tanaman.


4. Keadaan Lahan

Pertimbangan keadaan lahan juga penting dalam pembangunan hutan tanaman. Menurut Marsono (2000b), dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respons yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungan.



Gambar. Pembuatan Terras dalam Pembangunan Hutan

Pembangunan hutan tanaman pada lahan dengan topografi berlereng curam aspek konservasi tanah harus disertakan seperti yang terlihat pada gambar. Aspek mekanis dan biologis dalam konservasi tanah harus diperhatikan, seperti pembuatan terras, guludan maupun penanaman vegetasi penutup tanah. Hal ini kalau tidak diperhatikan maka akan menimbulkan masalah dalam pengelolaan hutan seperti terjadinya erosi yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan dan pendangkalan pada sungai yang berada di bawahnya. Pembangunan terras maupun jenis terras disesuaikan dengan kelerengan.

Aspek-aspek pengelolaan DAS juga perlu diperhatikan dalam pembangunan hutan tanaman pada suatu DAS. Pembangunan hutan tanaman di daerah hulu hendaknya tidak menyebabkan ktidakseimbangan yang terjadi pada daerah hilir.

Pada lahan kritis seperti yang telah dijelaskan terdahulu maka konsep suksesi yang dipercepat (acclerated succession) harus menjadi perhatian. Upaya peningkatan kualitas lahan dengan menananm jenis-jenis yang mampu memperbaiki kalitas lahan seperti jenis-jenis legum perlu menjadi perhatian. Jenis-jenis legum memiliki kemampuan untuk bersimbiosis dengan bakteri pengikat N sehingga Nitrogen tanah menjadi meningkat, selain itu daun-daun jenis legum ini cepat mengalami dekomposisi sehingga memberikan sumbangan yang cepat dalm penyediaan bahan organik tanah.


Pustaka :

Marsono, Djoko, 2000a. Perspektif Ekosistem Konservasi di Hutan Produksi, Prosiding Seminar Nasional, Keharusan Konservasi Dalam peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan Produksi, 81-99

Marsono, Djoko, 2000b. Keharusan Konservasi dalam Pengelolaan Hutan, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, 57-96

Marsono, Djoko, 2001. Perspektif Ekologis Pengelolaan Hutan dalam Rangka Otonomi Daerah dan Pelestarian Lingkungan, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, 35-56

Soekotjo, 2000. Strategi Untuk Mengimplementasikan Kesepakatan Internasional, Prosiding Seminar Nasional Keharusan Konservasi dalam Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan Produksi, 62-80.


Artikel Terkait :

EKOSISTEM HUTAN TANAMAN

Menurut Marsono (2000), pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomi tersebut dilakukan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentuk dan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing factor (pupuk, pestisida dan lain-lain).

Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secar finansial akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi.



Ekosistem hutan tanaman yang terbentuk akibat adanya berbagai simplifikasi melahirkan hutan dengan hanya satu strata, tidak terdapatnya keseimbangan alamiah sehingga hutan rentan terhadap kerusakan dan juga serangan hama dan penyakit. Selain itu siklus hara dan siklus energi tidak berlangsung dengan baik serta membutuhkan biaya pengelolaan yang relatif besar agar menghasilkan output yang diinginkan. Hal lain yang terjadi akibat siklus hara dan siklus energi yang tidak berlangsung dengan baik adalah terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh.


Keberadaan ekosistem hutan tanaman khususnya dengan sistem monokultur seperti yang terlihat pada gambar di atas, di sini terlihat bahwa hutan tanaman yang terbentuk dari tegakan yang monokultur berdampak bagi terjadinya erosi jika manajemen lahan yang tidak tepat (gambar a dan b), selain itu rentan terhadap serangan hama dan penyakit (gambar c dan b). Selain dampak kerusakan langsung yang terlihat di lapangan, dampak lain yang di alami oleh hutan tanaman dengan sistem monokultur yaitu penurunan produktivitas dan penurunan bonita. Bahkan di beberapa tempat terjadi kebocoran fosfat dan neraca hara bahkan terjadinya penurunan kuantitas air.

Simplifikasi yang terjadi pada hutan tanaman menyebabkan integritas ekosistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumberdaya genetik dan penurunan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soekotjo, 1999 dalam Marsono, 2000a). Menurut Marsono (2000a), terfragmentasinya ekosistem akan berakibat menurunnya produktivitas jangka panjang dan terjadi eutrofikasi/ pendangkalan jika lahan di bawahnya terdapat waduk atau badan sungai.

Selanjutnya menurut Marsono (2000a), dengan penekanan hutan produksi yang berfungsi ekonomis yang setinggi-tingginya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang atau tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga muncul isu penting sebagai berikut :

  • Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan yang terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutuskan sama sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional.
  • Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi, sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan).
  • Kemunduran site quality/bonita/tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran hutan tanaman yang ditandai dengan penurunan produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan jenis tanaman yang lain.
  • Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada besarnya frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair. Kondisi ini akan semakin memprihatinkan jika kualitas air juga menjadi parameter faktor ini. Dengan keruhnya air sungai, ini telah menjadi fenomena umum disetiap hutan tanaman.


Pustaka :

Marsono, Djoko, 2000a. Perspektif Ekosistem Konservasi di Hutan Produksi, Prosiding Seminar Nasional, Keharusan Konservasi Dalam peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan Produksi, 81-99

Marsono, Djoko, 2000b. Keharusan Konservasi dalam Pengelolaan Hutan, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, 57-96

Marsono, Djoko, 2001. Perspektif Ekologis Pengelolaan Hutan dalam Rangka Otonomi Daerah dan Pelestarian Lingkungan, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, 35-56

Soekotjo, 2000. Strategi Untuk Mengimplementasikan Kesepakatan Internasional, Prosiding Seminar Nasional Keharusan Konservasi dalam Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan Produksi, 62-80.

Artikel Terkait :

Hierarki Biodiversity

Hirarchi biodiversitas adalah urutan dalam jenjang klasifikasi dari berbagai kategori keanekargaman hayati yang terdapat didalam komunitas bumi ini dimana ragam yang terbesar adalah ragan dalam sifat genetik atau gen , diikuti dengan ragam spesies atau jenis serta ragam dalam ekosistemnya.

Secara sederhana digambarkan hirarchi biodiversitas sebagai berikut :

  1. Keragaman ekosistemnya
  2. Keragaman jenis dan species
  3. Keragaman dan genetiknya

  • KERAGAMAN GENETIKA (Gen diversity)

Keragaman genetik berasal dari adanya ragam yang tinggi dari unsur yang terkecil yaitu terbentuk dari berbagai DNA sehingga dari sini terbetuk banyak variasi gen dalam satu species pada suatu populasi

Sifat yang dimiliki oleh gen dalam populasinya dapat bersifat variasi karena ruang /Spatial ( hambatan ruang untuk beraktifitas ) atau sifat yang karena skala waktu / Temporal ( dimensi waktu yang berjlamn membuat ada mutasi mutasi gen baru yang terjadi.


  • KERAGAMAN SPECIES (Species diversity)

Adanya banyak variasi jenis atau species dalam Biosfer . Variasi variasi yang terjadi ini karena banyak faktor pembentuk spesies baru yang berasal dari spesies yang sudah ada dalam suatu ruang / Spatial , Hambatan ruang spatial contohnyaadalah isolasi geografis baik vertikal maupun horisontal.


  • KERAGAMAN EKOSISTEM (Ecosistem diversity)

Adanya berbagai sub Habitat dan Habitat dalam satu komunitas ke ecosistem baik krean ciri dan karaktersistik lokasi tentunya berpengaruh pada pembentukan komponen Biotik dan proses-proses ekologi didalammnya Aktifitas dan proses proses ekologi di dalam ekosistem seperti Aliran Energy dan daur materi, kemudian rantai makan dan siklus hidup komponen biotik . Keragaman ekosistem ini bisa bisa dilihat mulai dari permukaan laut

  • Ekosistem perairan yaitu ekosistem laut dalam, ekosistem laut dangkal, ekosistem pesisir , ekosistem bakau kemudian ekosistem hutan pantai , ekosistem rawa mengalir / tergenang,
  • Ekosistem darat yaitu ekosistem hutan hujan dataran rendah, ekosistem hutan dataran tinggi dan ekosistem pegunungan

Artikel Terkait :

Manfaat dan Ancaman Keanekaragaman Hayati (The Values Of Biodiversity)


Keanekaragaman hayati mengandung beragam manfaat dan dapat memerankan berbagai fungsi sehingga pelestariannya menjadi sangat penting baik ditinjau dari sudut ekonomi maupun ekologi serta etika. Berbagai komponen flora maupun fauna telah memberikan sumbangannya dalam penemuan dan pengembangan farmasi dan kedokteran, subsitusi terhadap jenis-jenis bahan pangan baru, dan peningkatan kemampuan rekajasa genetik.

Keindahan dan keunikan keanekaragaman hayati telah memperkaya kehidupan dan kebudayaan kita, menyediakan berbagai obyek penelitian dan pengembangan, menunjang keharmonisan hidup dan ketenangan batiniah, dan memberikan kepuasan dan kesenangan serta jasa berwisata. Potensi tersebut merupakan modal yang besar dalam pengembangan ekturisme yang berkembang pesat dari tahun ke tahun.

Manfaat lain yang sulit untuk dihitung adalah peranan keanekaragaman hayati sebagai pemelihara dan penyangga proses-proses pendukung kehidupan. Hutan misalnya, berfungsi sebagai pengatur iklim dan pelindung siklus air, penyerap bahan-bahan pencemar, dan pelindung tanah dari erosi.

Nilai dan manfaat dari keragaman hayati secara umum dapat dibagi berdasarkan :

Keanekaragaman hayati mengandung beragam manfaat dan dapat memerankan berbagai fungsi sehingga pelestariannya menjadi sangat penting baik ditinjau dari sudut ekonomi maupun ekologi serta etika. Berbagai komponen flora maupun fauna telah memberikan sumbangannya dalam penemuan dan pengembangan farmasi dan kedokteran, subsitusi terhadap jenis-jenis bahan pangan baru, dan peningkatan kemampuan rekajasa genetik.

Keindahan dan keunikan keanekaragaman hayati telah memperkaya kehidupan dan kebudayaan kita, menyediakan berbagai obyek penelitian dan pengembangan, menunjang keharmonisan hidup dan ketenangan batiniah, dan memberikan kepuasan dan kesenangan serta jasa berwisata. Potensi tersebut merupakan modal yang besar dalam pengembangan ekturisme yang berkembang pesat dari tahun ke tahun.

Manfaat lain yang sulit untuk dihitung adalah peranan keanekaragaman hayati sebagai pemelihara dan penyangga proses-proses pendukung kehidupan. Hutan misalnya, berfungsi sebagai pengatur iklim dan pelindung siklus air, penyerap bahan-bahan pencemar, dan pelindung tanah dari erosi.

JURNAL PENELITIAN

JURNAL PENELITIAN

Paling Populer